diam,
tak
mendengar,
apalagi
melihat.
Berdiri
kaku di padang gersang
dengan
pakaian yang sobek
dan
hanya mengharap sesuap kasih sayang
pada
anjing-anjing tukang proyek.
Kita,
pagi yang belum bercahaya
gelap,
seperti
kala malam yang masih terlelap
panjang.
Tapi,
kami masih bernafas
masih
bisa bergerak
menyatukan
ikatan asa yang terbias
walau
itu hanya merayapi selangit jarak
Kalaulah
darah mengalir
harapan
kami tak akan binasa
terus
hidup seperti petir
yang
merobek benteng-benteng angkasa
Sampai
kata berserekan itu
membentuk
kalimat indah
seindah
lirik-lirik yang syahdu
di
tangan para pujangga yang kehilangan arah.
Karya:
Amirullah Bandu