Nafasnya
memburu. Mengalahkan denyut jantung seorang sprinter yang baru
saja melintasi sebuah garis finish. Nadinya berdetak
tak menentu. Mengikuti alur pemikirannya yang juga
mulai semerawut.
Berkelana kesegala penjuru.
Ingin
mengutuki diri sendiri. Namun rupanya ego bertahta lebih dalam dibandingkan keikhlasan untuk mengakui kesalahan.
Seharusnya. Usai bercengkrama. mengadukan segala keluh
kesah pada-Nya
dan membaca beberapa ayat penyejuk jiwa. Dia segera bergegas mandi. Bukannya memegang
handphone dan menjelajahi dunia maya.
Pagi
tadi. Antrean tinggal menyisakan satu orang tatkala ia hendak ke kamar mandi.
Meskipun tinggal seorang saja, tetapi ini cukup membuatnya
repot. Menunggu adik perempuannya yang manjanya selangit,
serasa menunggu empat orang yang sedang antri dan dia berada di posisi yang
kelima. Bila saja setiap
penghuni rumah diberi jatah waktu tertentu dalam
menggunakan kamar mandi. Adiknya ini akan memerlukan
tambahan waktu. Meminta perpanjangan waktu lima hingga 10 menit.
Lelaki
itu masih terlihat mondar-mandir di
ruang tengah. Menunggu seseorang segera membukakan pintu. Tetapi
suara gemericik air yang menebar aroma wangi khas
bunga
dari sebuah merek sabun
mandi yang iklannya kerap wara-wiri di layar televisi,
memberinya isyarat bahwa
dia harus merawat kesabarannya beberapa menit lagi. Gilirannya tiba. Hanya
sekejap saja dia beraksi di
dalam ruangan berukuran hampir
3x3 meter itu. Kini, lelaki muda itu sudah siap melaju dengan sepeda motornya.
Kuda besinya terlihat mulus. Menyusuri jalan beraspal namun mulai
dipenuhi lubang-lubang
kecil. Padahal beberapa bulan lalu jalan tersebut baru saja di aspal. Entahlah.
Di sisi kanan dan kiri jalan bahkan terlihat penampakan air yang menyerupai
kolam kecil. Hujan deras baru saja turun dini hari tadi. Melintasi jembatan kayu yang tinggal menunggu hari dimana
ia akan ambruk. Membuat nyalinya sedikit menciut.
Padahal dulu dia termasuk salah satu atlit balap motor di masa putih abu-abu
dulu.
Setengah
perjalanan. Speedometer motornya memberi kode untuk segera di isi. Dia lupa
mengecek bensin dalam tangki semalam. Dan ini memaksanya untuk kembali
berjibaku dalam antrian yang kedua.
“Dua liter, Mbak.” Ujarnya sembari mengeluarkan selembar uang merah
dalam dompet bututnya.
Lembar
terakhir yang akan menemaninya bertahan hidup untuk dua hari kedepan
ditanah rantau tempatnya mencari rezeki. Sementara SMS Banking yang dinantinya tak juga datang
menyapa.
Motornya
kembali membelah ruas jalan. Dan lelaki itu harus kembali
menghabiskan beberapa menit
berharganya. Kali ini ujian datang dari rambu-rambu lalu lintas. Beberapa kali dia harus menatap dengan sabar traffic light
di samping kiri-kanannya.
Dan ini adalah lampu
merahnya yang ke empat.
“Andi”
Seorang
lelaki yang seumuran dengannya menyapa pelan. Mengenakan seragam sama persis dengan yang melekat ditubuhnya saat ini.
Pakaian
yang biasa digunakan
pada hari-hari tertentu. Biasanya setiap tanggal tujuh belas pada
setiap bulannya. Seragam ini
pun menjadi kewajiban untuk dikenakan para aparatur sipil negara.
“Di mana kamu kerja?” Tanya orang itu dari
balik kaca mobil yang diturunkan
perlahan.
Dia tak segera memberi jawaban.
Diamatinya lelaki dalam mobil avanza itu lekat-lekat.
“Masih kenal aku kan?” Tanya orang itu lagi.
Andi masih terdiam. Hingga akhirnya
terucap sebuah nama dari bibirnya. Seorang kawan seperjuangan di masa
remajanya.
“Ari.
Kamu di sini juga?”
Andi
mematikan mesin motornya. Dari percakapan singkat sebuah nomor telepon disimpannya.
Dalam
hitungan menit dia pun sudah siap melaju kembali dengan sepeda motornya. Wajahnya
tidak lagi Sudahlah.
Sekencang apapun dia melaju. Hari ini dia tetap tak bisa menyaksikan bagaimana bendera merah
putih di kibarkan dengan semangatnya oleh bocah-bocah berseragam putih biru.
Pagi ini dia telah..
"Aku terlambat." Bisiknya
dalam hati.
Karya: Hera Azis Simpoha
![]() |
Hera Azis Simpoha |